كتاب الصلاة : فصل استقبال القبلة Menghadap Kiblat[1]
Di sebutkan di dalam kitab Minhaj at-Thalibin :
(Penjelasan) : Kiblat yaitu Ka’bah. Dinamakan “kiblat” karena orang yang shalat menghadap Ka’bah. Dan dinamakan Ka’bah karena kemuliaan yang disandangnya. Menghadap kiblat merupakan syarat keabsahan shalat bagi orang yang mampu melakukannya, tidak dalam kondisi yang sangat takut atau dalam shalat sunnah safar yang mubah.
Orang yang melakukan perjalanan (musafir), baik jarak jauh maupun dekat menurut pendapat yang masyhur diperkenankan melakukan shalat sunnah baik dalam kendaraan maupun berjalan kaki. Shalat sunnah di atas kendaraan berdasarkan hadits riwayat Jabir : “Nabi Muhammad saw shalat di atas kendaraan kemanapun kendaraan itu berjalan-sesuai tujuan kendaraan. Namun, bilamana hendak melakukan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraannya lalu menghadap kiblat”. (H.R al-Bukhari).
Orang yang berkendara jika mungkin menghadap kiblat dan menyempurnakan seluruh rukun shalatnya, seperti orang yang shalat di atas perahu, dia mesti melakukan itu karena mendapat kemudahan. Namun bila hal tersebut sulit, tidak berada dalam perahu, maka menghadap kiblat hanya wajib dilakukan pada saat takbiratul ihram saja. Dan menurut satu pendapat menghadap kekiblat juga ketika salam. Hal ini bila mungkin dilakukan. Selanjutnya kemana arah kendaraan itu berjalan maka kearah itulah kiblatnya. Bagi orang yang berkendara, ruku’ dan sujudnya dilakukan dengan cara isyarat. Isyarat sujud harus lebih rendah dan lebih miring dibanding ruku’.
Seandainya musafir melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan hewan (bersedekup) yang diam, sambil menghadap kiblat, dan menyempurnakan ruku’ serta sujud, ini hukumnya boleh. Namun jika hewan tersebut dalam keadaan berjalan, praktik diatas tidak diperbolehkan, karena hewan hampir tidak bisa diam, sehingga tidak mungkin selalu berjalan di arah kiblat.
Orang yang shalat fardhu atau sunnah di dalam Ka’bah dengan menghadap ke dinding atau pintu Ka’bah, baik dalam keadaan tertutup maupun terbuka, dan didepannya ada benda atau daun pintu yang tingginya 2/3 hasta, atau orang yang shalat di atas Ka’bah yang termasuk bangunan Ka’bah hukum shalatnya sah.
Jika dimungkinkan mengetahui arah kiblat atau melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, maka haram bertaqlid kepada orang lain. Sebaliknya, jika tidak mungkin mengetahui arah kiblat atau melihat Masjidil Haram dari dekat maka ia wajib menerima informasi orang yang bisa dipercayai dan melihat kiblat secara nyata. Karena informasinya lebih Valid dibandingkan ijtihad[2].
Barangsiapa yang tidak mampu berijtihad untuk mengetahui arah kiblat atau tidak mampu mempelajari dalil-dalil, seperti orang yang buta atau orang awwam maka wajib bagi mereka bertaqlid kepada orang terpercaya dan mengerti dalil-dalil agama (ulama’)[3].
Menurut pendapat yang azhar, jika seseorang mengerjakan shalat atas dasar ijtihad kemudian yakin ijtihadnya keliru, ia wajib mengulang shalatnya atau mengqadhanya. Namun, jika ia mengubah ijtihadnya, ia mengamalkan ijtihad kedua dan tidak wajib mengqadha shalat pertama, karena “ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad selanjutnya”. Seperti halnya orang yang shalat empat raka’at dengan menghadap ke empat arah atas dasar ijtihad, shalatnya tridak wajib diqadha dan tidak wajib diulang, karena setiap raka’at telah ditunaikan berdasarkan ijtihad dan belum ada kejelasan raka’at yang keliru atau tidak sah.
Jadi, bagi orang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat maka ia wajib berijtihad dan haram taqlid kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, kemudian ia shalat. Ia shalat menghadap Masjidil Haram bukan karena melihat orang lain shalat menghadap Masjidil Haram, kemudian ia ikuti orang tersebut. Tapi ia shalat menghadap Masjidil Haram karena hasil ijtihadnya sendiri, yaitu dengan melihat Masjidil Haram dari Jarak dekat. Jadi, ia shalat bukan karena ikut (taqlid) kepad orang lain, namun ia shalat menghadap Masjidil Haram karena hasil ijtihadnya sendiri dengan melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, sehingga yakin dalam hatinya bahwa ia benar-benar menghadap Masjidil Haram. Ini khusus bagi orang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat.
Sementara bagi orang yang tidak mampu melihat Masjid Haram dari jarak dekat, maka ia wajib bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dan mengetahui dalil-dalil agama.
[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir Sumitra Nurjaya al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair pada tanggal 13 Rabiul Awwal 1436 H, bertepatan tanggal 4 Januari 2015 di Masjid al-Hikmah Jl. Garu II B.
Materi ini merupakan kajian khusus dari kitab :
- Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin oleh al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w.676 H/1227 M).
Jika ada yang kurang jelas dapat di tanyakan di nomor 083191600500.
[2] Inilah yang terjadi pada daerah kita saat ini, kita bertaqlid kepada orang yang mengetahui arah kiblat. Sebab, posisi kita saat ini tidak berada di dekat kiblat atau tidak melihat Masjidil Haram dari jarak dekat. Sehingga kita bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam ilmu falaq. Hal ini menunjukkan anjuran untuk orang awwam bermadzhab. Karena arti bermadzhab itu adalah bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam keilmuannya. Bahkan bagi orang awwam wajib hukumnya bermadzhab. Sebagaimana orang yang tidak melihat Masjidil Haram, ia wajib bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam ilmu Falaq. Maka sangat aneh sekali jikalau ada orang yang mengatakan bermadzhab hukumnya haram (tidak wajib). Dalil wajibnya bagi orang awwam bermadzhab adalah firman Allah swt : “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui” (Q.S an-Nahl : 43). Dan dalil hadits Muadz bin Jabal.
[3] Seandainya bermadzhab dikatakan haram, sungguh akan bebas siapa saja untuk berfatwa mengenai hukum-hukum dalam agama ini. Sebab, siapa saja boleh berijtihad. Sehingga menjadi kacaulah agama ini. Waliadzubillah...
استقبال
القبلة شرط لصلاة القادر الا في شدة الخوف ونفل , فللمسفر التنفل راكبا
وماشيا , ولا يشترط طول سفره على المشور, فأن أمكن استقبال الراكب في مرقد
واتمام ركوعه وسجوده لزمه , والا في الأصح انه ان سهل الأستقبال وجب , والا
فلا . ويختص بالتحرم , وقيل : يشترط في السلام ايضا .
Artinya :
“Menghadap kiblat adalah syarat shalat, kecuali dalam keadaan yang
sangat takut atau dalam shalat sunnat safar yang mubah, maka orang yang
melakukan perjalanan (musafir) boleh shalat sunnah di atas kendaraannya
dan waktu jalan kaki dan tidak disyaratkan panjang perjalanannya atas
pendapat yang masyhur. Jika mampu menghadap (kiblat) orang yang
berkendaraan itu maka menyempurnakan ruku’nya dan sujudnya mestilah
baginya. Menurut pendapat yang ashah jika mudah baginya menghadap
kiblat, maka wajib hukumnya ia menghadap kiblat, kecuali jika ia sulit
untuk menghadap kiblat, maka dalam keadaan sulit seperti ini tidak
wajib. Dan dikhususnya ketika takbiratul ihram, dan menurut satu
pendapat disyaratkan pada waktu salam juga”.(Penjelasan) : Kiblat yaitu Ka’bah. Dinamakan “kiblat” karena orang yang shalat menghadap Ka’bah. Dan dinamakan Ka’bah karena kemuliaan yang disandangnya. Menghadap kiblat merupakan syarat keabsahan shalat bagi orang yang mampu melakukannya, tidak dalam kondisi yang sangat takut atau dalam shalat sunnah safar yang mubah.
Orang yang melakukan perjalanan (musafir), baik jarak jauh maupun dekat menurut pendapat yang masyhur diperkenankan melakukan shalat sunnah baik dalam kendaraan maupun berjalan kaki. Shalat sunnah di atas kendaraan berdasarkan hadits riwayat Jabir : “Nabi Muhammad saw shalat di atas kendaraan kemanapun kendaraan itu berjalan-sesuai tujuan kendaraan. Namun, bilamana hendak melakukan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraannya lalu menghadap kiblat”. (H.R al-Bukhari).
Orang yang berkendara jika mungkin menghadap kiblat dan menyempurnakan seluruh rukun shalatnya, seperti orang yang shalat di atas perahu, dia mesti melakukan itu karena mendapat kemudahan. Namun bila hal tersebut sulit, tidak berada dalam perahu, maka menghadap kiblat hanya wajib dilakukan pada saat takbiratul ihram saja. Dan menurut satu pendapat menghadap kekiblat juga ketika salam. Hal ini bila mungkin dilakukan. Selanjutnya kemana arah kendaraan itu berjalan maka kearah itulah kiblatnya. Bagi orang yang berkendara, ruku’ dan sujudnya dilakukan dengan cara isyarat. Isyarat sujud harus lebih rendah dan lebih miring dibanding ruku’.
Seandainya musafir melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan hewan (bersedekup) yang diam, sambil menghadap kiblat, dan menyempurnakan ruku’ serta sujud, ini hukumnya boleh. Namun jika hewan tersebut dalam keadaan berjalan, praktik diatas tidak diperbolehkan, karena hewan hampir tidak bisa diam, sehingga tidak mungkin selalu berjalan di arah kiblat.
Orang yang shalat fardhu atau sunnah di dalam Ka’bah dengan menghadap ke dinding atau pintu Ka’bah, baik dalam keadaan tertutup maupun terbuka, dan didepannya ada benda atau daun pintu yang tingginya 2/3 hasta, atau orang yang shalat di atas Ka’bah yang termasuk bangunan Ka’bah hukum shalatnya sah.
Jika dimungkinkan mengetahui arah kiblat atau melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, maka haram bertaqlid kepada orang lain. Sebaliknya, jika tidak mungkin mengetahui arah kiblat atau melihat Masjidil Haram dari dekat maka ia wajib menerima informasi orang yang bisa dipercayai dan melihat kiblat secara nyata. Karena informasinya lebih Valid dibandingkan ijtihad[2].
Barangsiapa yang tidak mampu berijtihad untuk mengetahui arah kiblat atau tidak mampu mempelajari dalil-dalil, seperti orang yang buta atau orang awwam maka wajib bagi mereka bertaqlid kepada orang terpercaya dan mengerti dalil-dalil agama (ulama’)[3].
Menurut pendapat yang azhar, jika seseorang mengerjakan shalat atas dasar ijtihad kemudian yakin ijtihadnya keliru, ia wajib mengulang shalatnya atau mengqadhanya. Namun, jika ia mengubah ijtihadnya, ia mengamalkan ijtihad kedua dan tidak wajib mengqadha shalat pertama, karena “ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad selanjutnya”. Seperti halnya orang yang shalat empat raka’at dengan menghadap ke empat arah atas dasar ijtihad, shalatnya tridak wajib diqadha dan tidak wajib diulang, karena setiap raka’at telah ditunaikan berdasarkan ijtihad dan belum ada kejelasan raka’at yang keliru atau tidak sah.
Jadi, bagi orang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat maka ia wajib berijtihad dan haram taqlid kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, kemudian ia shalat. Ia shalat menghadap Masjidil Haram bukan karena melihat orang lain shalat menghadap Masjidil Haram, kemudian ia ikuti orang tersebut. Tapi ia shalat menghadap Masjidil Haram karena hasil ijtihadnya sendiri, yaitu dengan melihat Masjidil Haram dari Jarak dekat. Jadi, ia shalat bukan karena ikut (taqlid) kepad orang lain, namun ia shalat menghadap Masjidil Haram karena hasil ijtihadnya sendiri dengan melihat Masjidil Haram dari jarak dekat, sehingga yakin dalam hatinya bahwa ia benar-benar menghadap Masjidil Haram. Ini khusus bagi orang yang melihat Masjidil Haram dari jarak dekat.
Sementara bagi orang yang tidak mampu melihat Masjid Haram dari jarak dekat, maka ia wajib bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dan mengetahui dalil-dalil agama.
والله اعلم
[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir Sumitra Nurjaya al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair pada tanggal 13 Rabiul Awwal 1436 H, bertepatan tanggal 4 Januari 2015 di Masjid al-Hikmah Jl. Garu II B.
Materi ini merupakan kajian khusus dari kitab :
- Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin oleh al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w.676 H/1227 M).
Jika ada yang kurang jelas dapat di tanyakan di nomor 083191600500.
[2] Inilah yang terjadi pada daerah kita saat ini, kita bertaqlid kepada orang yang mengetahui arah kiblat. Sebab, posisi kita saat ini tidak berada di dekat kiblat atau tidak melihat Masjidil Haram dari jarak dekat. Sehingga kita bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam ilmu falaq. Hal ini menunjukkan anjuran untuk orang awwam bermadzhab. Karena arti bermadzhab itu adalah bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam keilmuannya. Bahkan bagi orang awwam wajib hukumnya bermadzhab. Sebagaimana orang yang tidak melihat Masjidil Haram, ia wajib bertaqlid kepada orang yang memiliki kredabilitas dalam ilmu Falaq. Maka sangat aneh sekali jikalau ada orang yang mengatakan bermadzhab hukumnya haram (tidak wajib). Dalil wajibnya bagi orang awwam bermadzhab adalah firman Allah swt : “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui” (Q.S an-Nahl : 43). Dan dalil hadits Muadz bin Jabal.
[3] Seandainya bermadzhab dikatakan haram, sungguh akan bebas siapa saja untuk berfatwa mengenai hukum-hukum dalam agama ini. Sebab, siapa saja boleh berijtihad. Sehingga menjadi kacaulah agama ini. Waliadzubillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar