Minggu, 12 Maret 2017

HUKUM PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH

HUKUM PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH

[1]

            Di era yang serba modern seperti saat ini, umat muslim banyak dihadapkan oleh masalah-masalah yang bersifat urgens, yang mana masalah tersebut sangat sulit untuk dipecahkan hukumnya, sehingga timbullah istilah masa’il fiqhiyyah (fiqih kontemporer). Melalui kajian masa’il fiqhiyyah masalah-masalah yang bersifat urgens tersebut yang baru muncul di era modern saat ini seperti pencangkokan organ tubuh, dapat dicari dan dipecahkan hukumnya oleh Ulama’-Ulama’ Kontemporer.
            Mengenai masalah pencangkokan organ tubuh ketika masih hidup ada Ulama yang membolehkannya dan ada Ulama yang mengharamkannya, diantara Ulama yang mengharamkannya adalah asy-Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dan Prof . Dr Masfuk Zuhdi. Adapun yang menjadi dasar pengharaman pencangkokan organ tubuh ketika masih hidup, antara lain :
1.      Firman Allah Jalla wa Azza dalam Q.S al-Baqarah : 195.
(wur    ......                        (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ nÎ) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ÇÊÒÎÈ ........  
Artinya : “.....dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.... “ (Q.S al-Baqarah : 195).
2.      Rasulullah saw bersabda :
لاضرر و لاضرار
Artinya : “ janganlah kamu menyakiti dirimu sendiri dan janganlah kamu menyakiti orang lain “ (HR. Ibnu Majah).
            Dalam kasus ini orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal, maka orang yang menyumbangkan mata atau ginjalnya tersebut, sewaktu-waktu mungkin akan menghadapi resiko seperti tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal satu itu, oleh sebab itu dapat difahami adanya unsur yang dinilai mendatangkan  bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.
3.      Qaidah fiqih
درءالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya :  “menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kemashlahatan”.
            Pendonor yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemashlahatan orang lain, yakni orang yang menerima pencangkokan tubuhnya.
4.      Qaidah fiqih
الضر ر لا بزال با لضرر
Artinya : “ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya “.
            Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak dibenarkan penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya lainnya. Sedangkan orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup untuk membantu menyelamatkan orag lain adalah dinilai upaya menghilangkan bahaya dengan konsekuensi timbulnya bahaya yang lain yang menimpa diri orang yang mendonorkan organ tubuhnya.
            Sementara itu asy-Syaikh Dr Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa dibolehkannya melakukan pencangkokan organ tubuh , baik si pendonor masih hidup maupun sudah mati. Beliau berpendapat bahwa tubuh merupakan titipan Allah, akan tetapi manusia diberi wewenang unyuk memanfaatkannya dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah, akan tetapi Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakannya.
            Sebagaimana manusia boleh mendermakan (menshadaqahkan) hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan (menshadaqahkan) sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukan jika sekiranya tidak menimbulkan mudharat buat dirinya.
            Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya kelaut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ketengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka itu artinya seorang muslim dibolehkan mempertaruhkan atau mendonorkan sebagian organ tubuhnya untuk kemashlahatan orang lain yang membutuhkan.
            Didalam kaidah syari’ah ditetapkan bahwa mudharat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamtkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
            Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat dharar (bencana,bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal ia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
            Karena itu asy-Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara’, bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian ia menyayangi orang yang ada di bumi.
            Kebolehan mendonorkan organ tubuh ketika masih hidup harus melewati beberapa syarat tertentu, diantaranya :
-         Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemeralatan, dan kesengsaraan bagi dirinya, seperti mendonorkan organ tubuh yang Cuma satu-satunya dalam tubuhnya , misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut.
-         Seseorang juga tidak boleh mendermakan atau mendonorkan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar (mudharat) orang lain dengan menimbulkan dharar (mudharat) bagi dirinya sendiri yang lebih besar.
-         Mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah dewasa dan berakal sehat.  Dan seorang wali, ia juga tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang  gila yang dibawah perwaliannya.

A.    Memberikan Organ Tubuh Kepada Orang Non-Muslim
Mendonorkan organ tubuh itu sama seperti menyedahkan harta, hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim (ahlul kitab) dan kafir dzimmi[2], akan tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya orang kafir yang memerangi kaum muslimin lewat perang fikiran (Ghazul Fikr) dan yang berusaha merusak Islam. Demikian pula tidak dibolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam, karena orang yang murtad telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh.
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan yang satunya lagi kafir, maka yang muslim itulah yang harus didahulukan atau diutamakan, bahkan seorang muslim yang shaleh dan komitmen terhadap agamanya lebih diutamakan untuk diberi donor dari pada orang muslim yang fasiq yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Dengan sehatnya orang yang shaleh tersebut berarti si pemberi donor tubuh telah membantunya melakukan keta’ataan kepada Allah  dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Dan juga didahulukan kerabat dan tetangga orang yang melakukan donor.
Perlu diingatkan bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan menjual atau membeli organ tubuh. Akan tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberikan sejumlah uang kepada si pendonor tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan maka yang demikian ituu hukumnya jaiz (boleh) bahkan terpuji dan termasuk akhlaq yang mulia.

B.     Mewasiatkan Organ Tubuh Setelah Meninggal Dunia
Dalam masalah ini kembali terjadi perpedaan pendapat dikalangan Ulama’, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Adapun yang menjadi dasar Ulama yang mengharamkan adalah berangkat dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa haram melakukan pencangkokan organ tubuh ketika masih hidup, demikian pula mewasiatkannya. Sebagaimana tersebut dalam kitab mahalli “ sesuatu yang haram diberikan, haram pula diwasiatkan “. Atas dasar keharaman mendonorkan organ tubuh sebagaimana tersebut pada pembahasan yang telah lalu, maka mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia juga diharamkan.
Akan tetapi ada juga Ulama yang membolehkannya, karena mereka perbendapat donor organ tubuh ketika masih hidup itu boleh, maka mewasiatkannya juga boleh. Sebab yang demikian itu akan memberikan kemanfaatan yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudharat sedikitpun kepada dirinya. Karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila dia berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya.
 Jika ada yang berkata : mendonorkan organ tubuh ketika sudah meninggal sama artinya menyakiti mayit?
Jawab : mengambil sebagian organ tubuh dari mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara’. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ tubuh yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya. Jika berwasiat demikian dibolehkan itu artinya ahli waris juga wajib menjalankan wasiat tersebut, dengan mengoperasi bagian tubuh yang diperlukan saja.
Cabang permasalahan :
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika si mayit tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka ia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya,maka dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Oleh karena itu asy-Syaikh Dr Yusuf al-Qardhawi berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya. Dengan niat sebagai sedekah bagi si mayit, suatu sedekah yang terus mengalir pahalanya selama si penerima organ tubuh itu memanfaatkan organ tubuh yang di donorkan.


والله اعلم

           
[1]Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Banjary al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 18 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan tanggal 19 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Makalah ini ditulis dari kitab :
-         Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2 (Tarjim/terjemahan), oleh asy-Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.
-         Al-Mahalli oleh al-Imam Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli.
-         Yas-‘alunaka fi ad-Din wa al-Hayat oleh asy-Syaikh Dr Ahmad asy-Syarabashi.
[2] Kafir Dzimmi adalah orang-orang kafir yang mendapat perlindungan dari negara Islam, dan mereka rela atau patuh kepada syari’at Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar