HUKUM BERMADZHABDALAM FIQIH
Manusia dalam memahami al-Qur’an dan Hadits atau dasar hukum terbagi kepada dua golongan : orang awwam, yaitu orang yang tidak mampu mengambil hukum dari dasar hukum Islam yaitu al-Qur’an maupun Hadits karena keterbatasan ilmu yang ia miliki. Tugas orang awwam adalah bertanya kepada orang yang ‘alim (berilmu) atau mujtahid. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :فاسألواأهل الذكر ان كنتم لا تعلمون Artinya : “ Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (Q.S al-Anbiya’ : 7 ).
Adapun maksud dari ahlu az-zikri adalah golongan orang-orang yang berilmu, mereka adalah Ulama’ Mujtahid. Mereka mampu mengeluarkan hukum dari al-Qur’an maupun Hadits dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
Jika Ulama’ mujtahid masih hidup maka kita diperintahkan untuk bertanya kepadanya tentang suatu hukum yang ingin kita ketahui. Dan jika mereka sudah wafat maka tugas kita adalah membaca dan mempelajari kitab-kitab yang mereka susun. Mereka sudah menuliskan hukum-hukum fiqh dan juga qaidah-qaidah dalam menetapkan hukum.
Dalam membaca dan memahami kitab-kitab Ulama’ Mujtahid tentu juga tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Karena kitab-kitab tersebut bertuliskan dengan bahasa arab yang untuk memahaminya dituntut memahami ilmu nahwu, sharaf, balaghah, bayan , arud dan lain sebagainya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa bermadzhab itu tidak wajib bahkan hukumnya adalah haram, dengan alasan mengotak-ngotak umat Islam, dan Nabi tidak pernah sama sekali memerintahkan kita untuk mengikuti satu Madzhab?
Maka kita jawab : manusia saja dalam memahami kitab-kitab yang disusun oleh para mujtahid tidak semua orang mampu melakukannya, jadi jangankan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Hadits, membaca kitab turots (kitab kuning) dengan bahasa Arab saja tidak mampu, konon lagi memahami al-Qur’an dan Hadits yang gaya bahasa al-Qur’an sangat tinggi sekali nilai sastranya, bahkan dunia mengakui bahwa al-Qur’an adalah sastra tertinggi di dunia. Dari mana kita bisa mengetahui maksud isi al-Qur’an kalau tidak melalui para Ulama’ Mujtahid, oleh sebab itu, bagi orang yang awwam seperti kita wajib hukumnya bermadzhab. Pilihlah madzhab mana yang qaidah-qaidah hukum yang mereka susun cocok dengan kita, terserah mau pilih madzhab apa? Syafi’i , Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Pada dasarnya kesemua mujtahid itu adalah benar.
Kemudian mengenai tidak adanya dalil dari nash al-Qur’an maupun Hadits yang memerintahkan kita untuk mengikuti satu madzhab tertentu tidak menjadi alasan bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Bahkan sebenarnya ada dalil-dalil dari Hadits yang mengisyaratkan bahwa kita itu harus bermadzhab, diantaranya : Nabi saw bersabda :يو شك ان تضرب اكباد الأبل يطلبون العلم فلا يجدون احدا اعلم من عالم المدينة
Artinya : “ hampir saja dipukul hati onta agar mereka dapat menuntut ilmu namun mereka tidak mendapatkan seseorang yang lebih pandai dibanding orang alim kota Madinah “.
Hadits ini secara tersirat dimaknai sebagai isyarat kepada imam Malik (pendiri Madzhab Maliki), karena imam Malik berada di Madinah, dan imam Malik lah merupakan orang yang paling (Berilmu) pada saat itu diantara Ulama’-Ulama’ lainnya. Sehingga orang-orang pun bersegera menuju Madinah guna mencari ilmu dari imam Malik.
Dalam riwayat yang lain Nabi saw juga bersabda :عالم قريش يملاء طباق الأرض علما Artinya : “seorang ‘alim suku Quraisy akan memenuhi alas bumi dengan ilmunya “. Hadits ini secara tersirat dimaknai sebagai isyarat kepada imam Syafi’i. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa imam Syafi’i merupakan keturunan bangsa Quraisy dan ilmunya tersebar sampai keseluruh penjuru dunia. Jadi dalam membaca dan memahami kitab-kitab Ulama’ Mujtahid (Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal) tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada yang mampu dan ada yang tidak, yang tidak mampu tugasnya adalah bertanya kepada yang mampu, sehingga ia juga dapat mengetahui hukum Islam secara benar. Oleh karena itu al-Imam as-Subki menjelaskan dalam kitab Jam’u al-Jawami’ :ولأصح انه يجب على العامى التزام مذهب معين يعتقده ارجح او مساويا Artinya : “ pendapat yang benar bahwa wajib bagi orang awwam menempati (mengamalkan) satu Madzhab saja, yang ia yakini lebih kuat atau sama “.
Kata Madzhab berasal dari fi’il madhi yaitu dzahaba artinya pergi. Madzhab artinya tempat pergi. Jika seseorang bermadzhab artiinya ada tempat rujukan atau ikutannya dalam mengamalkan suatu hukum. Orang awwam atau tidak mengetahui diperintahkan untuk bertanya, mengikut yang mengetahui, mereka adala Ulama Madzhab, maka ia namanya bermadzhab kepada Ulama tersebut. Jadi kalau seseorang bermadzhab Syafi’i artinya dia bertaqlid kepada imam Syafi’i, orang yang mengikut Ulama Madzhab disibut muqallid. Imam Nawawi yang merupakan salah satu Ulama’ besar dalam masaah Fiqih dan Hadits, beliau tetap bermadzhab, yaitu madzhab beliau adalah madzhab Syafi’i, begitu juga dengan al-Imam al-Ghazali, mereka bermadzhab meskipun mereka orang ‘alim. Jika ada orang yang mengatakan bermadzhab hukumnya tidak wajib bahkan haram. Maka saya bertanya kepada anda, apakah anda lebih ‘alim (berilmu) dari al-Imam an-Nawawi? Al-Imam an-Nawawi yang sangat berilmu sekali, beliau saja bermadzhab, apalagi orang yang bodoh seperti kita. Jika anda mengatakan bermadzhab tidak wajib, kembalikan hukum kepada al-Qur’an dan Hadits saja, maka saya bertanya kepada anda : apakah Ulama Madzhab itu tidak mengerti al-Qur’an dan Hadits? Bahkan merekalah orang-orang yang paling faham al-Qur’an dan Hadits dibandingkan kita. Berapa juz yang sudah anda hafal? Berapa ratus ribu Hadits yang sudah anda hafal matan dan sanadnya? Manakah ayat yang dimansukh dan di nasakh-kan? Apa itu muthlaq dan muqayyad? Mana ayat yang termasuk al-amm (umum) dan khass (khusus). Jika ini saja tidak bisa anda fahami, jangan bersikap sombong dan congkak dengan mengatakan bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Sudah lebih ‘alim kah anda dibandingkan dengan imam an-Nawawi? Sudah lebih pintarkah anda dibandingkan dengan imam Syafi’i? Sudah lebih zuhud kah anda dibandingkan imam Malik? Kembalilah kejalan yang benar, jalan orang-orang yang diridhai Allah Jalla wa Azza.والله اعلم Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Banjary al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan tanggal 5 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.Makalah ini ditulis dari kitab :- Hasyiah al-‘Alamah al-Banani ‘ala Syarh al-Jalal Syamsud-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli ‘ala Matan Jamu’ al-Jawami’ oleh al-Imam Tajuddin ‘Abdu al-Wahhab ibn Subki, Juz 2.- Al-Fathu al-Mubin fi al-Ta’rif Mushthalahat al-Fuqaha’ wal Ushuliyyin oleh asy-Syaikh Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi.- Jauharu at-Tauhid oleh al-Imam Ibrahim al-Laqani
Manusia dalam memahami al-Qur’an dan Hadits atau dasar hukum terbagi kepada dua golongan : orang awwam, yaitu orang yang tidak mampu mengambil hukum dari dasar hukum Islam yaitu al-Qur’an maupun Hadits karena keterbatasan ilmu yang ia miliki. Tugas orang awwam adalah bertanya kepada orang yang ‘alim (berilmu) atau mujtahid. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :فاسألواأهل الذكر ان كنتم لا تعلمون Artinya : “ Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (Q.S al-Anbiya’ : 7 ).
Adapun maksud dari ahlu az-zikri adalah golongan orang-orang yang berilmu, mereka adalah Ulama’ Mujtahid. Mereka mampu mengeluarkan hukum dari al-Qur’an maupun Hadits dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
Jika Ulama’ mujtahid masih hidup maka kita diperintahkan untuk bertanya kepadanya tentang suatu hukum yang ingin kita ketahui. Dan jika mereka sudah wafat maka tugas kita adalah membaca dan mempelajari kitab-kitab yang mereka susun. Mereka sudah menuliskan hukum-hukum fiqh dan juga qaidah-qaidah dalam menetapkan hukum.
Dalam membaca dan memahami kitab-kitab Ulama’ Mujtahid tentu juga tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Karena kitab-kitab tersebut bertuliskan dengan bahasa arab yang untuk memahaminya dituntut memahami ilmu nahwu, sharaf, balaghah, bayan , arud dan lain sebagainya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa bermadzhab itu tidak wajib bahkan hukumnya adalah haram, dengan alasan mengotak-ngotak umat Islam, dan Nabi tidak pernah sama sekali memerintahkan kita untuk mengikuti satu Madzhab?
Maka kita jawab : manusia saja dalam memahami kitab-kitab yang disusun oleh para mujtahid tidak semua orang mampu melakukannya, jadi jangankan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Hadits, membaca kitab turots (kitab kuning) dengan bahasa Arab saja tidak mampu, konon lagi memahami al-Qur’an dan Hadits yang gaya bahasa al-Qur’an sangat tinggi sekali nilai sastranya, bahkan dunia mengakui bahwa al-Qur’an adalah sastra tertinggi di dunia. Dari mana kita bisa mengetahui maksud isi al-Qur’an kalau tidak melalui para Ulama’ Mujtahid, oleh sebab itu, bagi orang yang awwam seperti kita wajib hukumnya bermadzhab. Pilihlah madzhab mana yang qaidah-qaidah hukum yang mereka susun cocok dengan kita, terserah mau pilih madzhab apa? Syafi’i , Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Pada dasarnya kesemua mujtahid itu adalah benar.
Kemudian mengenai tidak adanya dalil dari nash al-Qur’an maupun Hadits yang memerintahkan kita untuk mengikuti satu madzhab tertentu tidak menjadi alasan bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Bahkan sebenarnya ada dalil-dalil dari Hadits yang mengisyaratkan bahwa kita itu harus bermadzhab, diantaranya : Nabi saw bersabda :يو شك ان تضرب اكباد الأبل يطلبون العلم فلا يجدون احدا اعلم من عالم المدينة
Artinya : “ hampir saja dipukul hati onta agar mereka dapat menuntut ilmu namun mereka tidak mendapatkan seseorang yang lebih pandai dibanding orang alim kota Madinah “.
Hadits ini secara tersirat dimaknai sebagai isyarat kepada imam Malik (pendiri Madzhab Maliki), karena imam Malik berada di Madinah, dan imam Malik lah merupakan orang yang paling (Berilmu) pada saat itu diantara Ulama’-Ulama’ lainnya. Sehingga orang-orang pun bersegera menuju Madinah guna mencari ilmu dari imam Malik.
Dalam riwayat yang lain Nabi saw juga bersabda :عالم قريش يملاء طباق الأرض علما Artinya : “seorang ‘alim suku Quraisy akan memenuhi alas bumi dengan ilmunya “. Hadits ini secara tersirat dimaknai sebagai isyarat kepada imam Syafi’i. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa imam Syafi’i merupakan keturunan bangsa Quraisy dan ilmunya tersebar sampai keseluruh penjuru dunia. Jadi dalam membaca dan memahami kitab-kitab Ulama’ Mujtahid (Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal) tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada yang mampu dan ada yang tidak, yang tidak mampu tugasnya adalah bertanya kepada yang mampu, sehingga ia juga dapat mengetahui hukum Islam secara benar. Oleh karena itu al-Imam as-Subki menjelaskan dalam kitab Jam’u al-Jawami’ :ولأصح انه يجب على العامى التزام مذهب معين يعتقده ارجح او مساويا Artinya : “ pendapat yang benar bahwa wajib bagi orang awwam menempati (mengamalkan) satu Madzhab saja, yang ia yakini lebih kuat atau sama “.
Kata Madzhab berasal dari fi’il madhi yaitu dzahaba artinya pergi. Madzhab artinya tempat pergi. Jika seseorang bermadzhab artiinya ada tempat rujukan atau ikutannya dalam mengamalkan suatu hukum. Orang awwam atau tidak mengetahui diperintahkan untuk bertanya, mengikut yang mengetahui, mereka adala Ulama Madzhab, maka ia namanya bermadzhab kepada Ulama tersebut. Jadi kalau seseorang bermadzhab Syafi’i artinya dia bertaqlid kepada imam Syafi’i, orang yang mengikut Ulama Madzhab disibut muqallid. Imam Nawawi yang merupakan salah satu Ulama’ besar dalam masaah Fiqih dan Hadits, beliau tetap bermadzhab, yaitu madzhab beliau adalah madzhab Syafi’i, begitu juga dengan al-Imam al-Ghazali, mereka bermadzhab meskipun mereka orang ‘alim. Jika ada orang yang mengatakan bermadzhab hukumnya tidak wajib bahkan haram. Maka saya bertanya kepada anda, apakah anda lebih ‘alim (berilmu) dari al-Imam an-Nawawi? Al-Imam an-Nawawi yang sangat berilmu sekali, beliau saja bermadzhab, apalagi orang yang bodoh seperti kita. Jika anda mengatakan bermadzhab tidak wajib, kembalikan hukum kepada al-Qur’an dan Hadits saja, maka saya bertanya kepada anda : apakah Ulama Madzhab itu tidak mengerti al-Qur’an dan Hadits? Bahkan merekalah orang-orang yang paling faham al-Qur’an dan Hadits dibandingkan kita. Berapa juz yang sudah anda hafal? Berapa ratus ribu Hadits yang sudah anda hafal matan dan sanadnya? Manakah ayat yang dimansukh dan di nasakh-kan? Apa itu muthlaq dan muqayyad? Mana ayat yang termasuk al-amm (umum) dan khass (khusus). Jika ini saja tidak bisa anda fahami, jangan bersikap sombong dan congkak dengan mengatakan bahwa bermadzhab itu tidak wajib. Sudah lebih ‘alim kah anda dibandingkan dengan imam an-Nawawi? Sudah lebih pintarkah anda dibandingkan dengan imam Syafi’i? Sudah lebih zuhud kah anda dibandingkan imam Malik? Kembalilah kejalan yang benar, jalan orang-orang yang diridhai Allah Jalla wa Azza.والله اعلم Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Banjary al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan tanggal 5 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.Makalah ini ditulis dari kitab :- Hasyiah al-‘Alamah al-Banani ‘ala Syarh al-Jalal Syamsud-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli ‘ala Matan Jamu’ al-Jawami’ oleh al-Imam Tajuddin ‘Abdu al-Wahhab ibn Subki, Juz 2.- Al-Fathu al-Mubin fi al-Ta’rif Mushthalahat al-Fuqaha’ wal Ushuliyyin oleh asy-Syaikh Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi.- Jauharu at-Tauhid oleh al-Imam Ibrahim al-Laqani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar