Minggu, 12 Maret 2017

Cara shalat

باب صفة الصلاة Bab : Sifat (Cara) Shalat (Bag 1)[1]

            Shalat merupakan rukun Islam yang paling ditekankan setelah beriqrar dua kalimat syahadat. Oleh sebab itu, setiap muslim hendaklah mengetahui kaifiyat (tata cara) shalat dengan baik dan benar agar nilai shalat tersebut memberikan dampak positif terhadap kehidupan kita. Sebab, setiap amal yang tidak di landasi dengan ilmu maka amal tersebut tertolak (tidak di terima). Berapa banyak orang yang shalat namun tidak memberikan dampak positif di dalam kehidupannya. Hal itu terjadi karena orang yang melaksanakan shalat tersebut hanya sebatas melepaskan kewajibannya saja terhadap Allah tanpa memperhatikan aspek-aspek shalat itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa banyak orang yang melaksanakan shalat akan tetapi tidak mengerti kaifiyat (tata cara) shalat yang baik dan benar. Sehingga shalat yang tadinya dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan kita, menjadi tidak bernilai sedikitpun.
وقال العلماء رحمهم الله تعالى : من صلى جاهلا بكيفية الوضوء و الصلاة لم تصح صلاته[2]
            Artinya : “Telah berkata para ulama’ semoga Allah ta’ala merahmati mereka : barangsiapa yang shalat tidak mengetahui kaifiyat (tata cara) wudhu’ dan shalat tidaklah shah shalatnya”.
اركنها ثلاثة عشر : النية , فأن صلى فرض وجب قصد فعله وتعيينه , ولأصح وجوب النية الفرضية دون الأضافية الى الله تعالى , وانه يصح الأداء بنية القضاء وعكسه .
            Artinya : “Rukun shalat ada 13 : yang pertama niat, maka jika ia shalat fardhu wajib menyengaja pekerjaannya dan menentukannya, menurut pendapat yang ashah wajib juga niat fardhunya bukan menyandarkannya kepada Allah. Dan bahwasanya sah shalat ada’an dengan niat qadha’ dan sebaliknya”.
            Penjelasan : Rukun atau fardhu shalat itu ada tiga belas, yaitu sebagai berikut :
  1. Niat.
Niat artinya “menyengaja”. Kita di anjurkan (sunnat) melafadzkan atau mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, untuk membantu hati agar terhindar dari was-was. Menyertakan niat ketika takbiratul ihram hukumnya wajib karena niat merupakan rukun shalat yang pertama.
Dalam shalat sunnah mutlak seperti tahiyatul masjid dan shalat sunnah wudhu, kita cukup berniat melaksanakan shalat, untuk membedakan ibadah dengan perbuatan yang lain. Shalat sunnah mutlak yaitu shalat sunnah yang tidak dibatasi oleh waktu dan sebab. Seandainya seseorang melaksanakan shalat sunnah mutlak ia hanya berniat “sengaja aku shalat sunnah karena Allah/Ushalli sunnata lillahi ta’ala” shalatnya sah.
Adapun shalat sunnah yang mempunyai sebab, seperti shalat istisqa’, shalat gerhana matahari atau bulan, shalat ‘ied, atau shalat sunnah yang terikat waktu seperti shalat rawatib, dhuha, dan tahajjud, harus meniatkan dua hal, yaitu : menyengaja melaksanakan shalat dan menentukan jenisnya untuk membedakan dari shalat yang lain. Sedangkan dalam shalat fardhu, niat harus memuat tiga hal, yaitu : 1) menyengaja, 2) menentukan, 3) menyebut kefardhuan.
Ketika berniat shalat, kita dianjurkan menyebut bilangan raka’at untuk membedakan antara shalat yang mukim dan musafir . selain itu juga di anjurkan menyandarkan shalat kepada Allah swt, dan memperjelas status shalat : shalat ada’ atau qadha’. Shalat ada’ dengan niat qadha hukumnya sah, demikian pula sebaliknya.
Dalil kewajiban niat terdapat pada firman Allah swt :
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# ÇÎÈ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas  menta’ati-Nya dalam (menjalankan) agama” (Q.S al-Bayyinah : 5).
Al-Imam al-Mawardi berpendapat “ikhlas” menurut kalangan ahli fiqh bermakna niat.
Dan wajibnya niat di pertegas dengan hadits riwayat Umar r.a :
عن أمير المؤمنين ابي حفص عمربن الخطاب رضي الله عنه : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : انما الأعمل بالنيات وانما لكل امرىء مانوى ......
Artinya : “Dari amirul mukminin Abu Hfshin (Bapak Singa) Umar bin al-Khattab r.a dia berkata : aku mendengar Rasulullah saw bersabda , Sungguh setiap amalan itu berdasarkan dengan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang di niatkan”. (H.R Bukhari dan Muslim).
Al-Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa umat Islam sepakat meletakkan hadits ini pada posisi mulia, banyak faedahnya, dan sepakat pula atas keshahihannya. Al-Imam asy-Syafi’i dan ulama’ yang lain menegaskan bahwa hadits ini adalah sepertiga Islam, dan ditambahkan oleh al-Imam asy-Syafi’i bahwa hadits ini membawahi tujuh puluh bab fiqh. Ulama’ lain mengatakan bahwa nilai hadits ini adalah seperempat Islam.
Al-Imam Abd ar-Rahman al-Mahdi dan yang lain berkomentar bahwa mestilah setiap orang yang menyusun buku untuk memulai hadits ini dalam bukunya sebagai peringatan kepada pembaca untuk senantiasa memperbaiki niatnya.
Jumhur ulama’ dan ahli bahasa dan ushul menerangkan bahwa kegunaan kata “innama” yang didahului hadits tersebut adalah untuk pembatasan (al-hashr), artinya menetapkan yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi makna hadits ini, “sungguh, perbuatan itu di anggap ada dan dinilai karena niatnya. Apabila niatnya tidak ada, maka perbuatan itu tidak dianggap sama sekali”
Pentahqiq kitab Syarh Shahih Muslim, asy-Syaikh Adil Abd al-Maujud dan asy-Syaikh Ali Mu’awwidh, menukil bahwa Abu ‘Ubaidah berkata : “tidak ada hadits Nabi yang lebih mencakupi dan lebih banyak faedahnya kecuali hadits ini. Sepakat al-Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madiniy, Abu Daud, Daruquthni dll, bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. Di antara ulama’ ada yang mengatakan seperempat ilmu. Al-Hafiz al-Baihaqi menegaskan bahwa hadits ini sepertiga ilmu, karena ilmu meliputi hati, lisan dan anggota tubuh. Sedangkan niat berada di hati, dan hati adalah sepertiganya. Selanjutnya, terkadang hati memiliki ibadah tersendiri, dan ibadah yang lain sangat butuh pada niat.
Al-a’mal (amalan) adalah pergerakan badan, termasuk di dalamnya adalah perkataan. Setidaknya alif lam yang ada pada kata al-a’mal memiliki dua makna : pertama, lil ‘ahdi adz-dzihni,  artinya amalan tertentu yang membutuhkan pada niat, bukan amalan biasa yang tidak butuh sahnya pada niat. Kedua, lil istighraq, artinya mencakupi semua, namun maknanya khusus, yang membutuhkan pada niat saja[3].
Di antara faedah hadits niat ini adalah : mewajibkan untuk mengiringi perbuatan/amalan dengan niat yang ikhlas karena Allah. Allah hanya menerima amalan yang ikhlas karena-Nya, tidak sah niat melakukan sesuatu kecuali setelah mengetahui hukumnya, tidak disyaratkan berniat ketika melakukan sesuatu yang tidak termasuk dalam katagori amalan[4].


والله اعلم





[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir Sumitra Nurjaya al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair pada tanggal 11 Rabius-Tsani 1436 H, bertepatan tanggal 1 Februari 2015 di Masjid al-Hikmah Jl. Garu II B.
Materi ini merupakan kajian khusus dari kitab :
-         Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin oleh al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w.676 H/1227 M).
Jika ada yang kurang jelas dapat di tanyakan di nomor 083191600500.

[2] Asy-Syaikh Ahmad al-Ramli, Syarh as-Satin Mas’alah, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, h. 20.

[3] Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w.1057 H), Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, j. 1, h. 25-29.

[4] Asy-Syaikh Abd al-Qadir ‘Irfan bin Salim al-‘Asyahasunah ad-Dimasyqiy, Raudhah al-Muttaqin, j.1, h. 34-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar